MEDIA CERDAS MEWUJUDKAN MASYARAKAT SEJAHTERA

SMART Media

Minggu, 25 Juli 2010

MEMPERKUAT KELEMBAGAAN PETANI DI NUSA TENGGARA BARAT ( Khususnya di KABUPATEN LOMBOK TIMUR)


Kelesuan sektor pertanian merupakan konsekuensi dari ketidak konsistenan kebijakan pemerintah. Awalnya pemerintah begitu menggebu-gebu memperkuat sektor pertanian, sebagai tulang punggung pembangunan nasional. Namun sebelum sektor pertanian kuat, pemerintah berganti haluan mengejar sektor industri, selanjutnya sektor pertanian justru dikorbankan untuk kepentingan industri. Kondisi inferior ini membuat sektor pertanian tidak memiliki daya tarik. Akibatnya terjadi fenomena gerontokrasi pertanian, artinya kaum tua yang tak lagi termasuk kategori usia produktif mendominasi komposisi tenaga kerja sektor pertanian. Generasi mudanya lebih suka berburu kayu atau rotan di hutan, atau pergi ke kota.

Dalam kondisi seperti ini, bagaimana pertanian dapat menjadi alternatif mata pencaharian bagi masyarakat di sekitar hutan yang selama ini menggantungkan hidupnya dengan menebang kayu atau mengambil rotan?
Dengan semakin tipisnya pilihan mata pencaharian di sekitar hutan, jenis pertanian apa yang layak dikembangkan di Nusa Tenggara Barat, (khususnya Kabupaten Lombok Timur) bagaimana strategi memperkuat sektor pertanian di desa? Mampukah pertanian sebagai sumber mata pencaharian yang lestari (sustainable livelihoods)?

Paradoks Produktifitas

Harga produk pertanian langsung anjlok saat produksi melimpah, celakanya pada saat harga mulai naik, produk pertanian sudah tidak berada di tangan petani, melainkan sudah di gudang- gudang pedagang perantara. Kerja keras petani untuk menggenjot kenaikan produksi, karena itu, sering tidak berdampak pada peningkatan pendapatan, bahkan pada banyak kasus harga justru jeblok saat produks melimpah. Fenoma ini sering disebut sebagai paradoks produktifitas (productivity paradoc). Berbeda dengan sektor industri, harga sepeda motor Honda misalnya tidak pernah turun, walau terus membanjiri pasaran.

Pertanyaannya, mengapa petani yang merupakan inti dari proses produksi
justru tidak mampu menjadi penikmat utama? Salah satu sebabnya, pembangunan pertanian selama ini hanya menekankan pada proses berproduksi. Pemerintah seakan sudah puas saat petani dapat menanam dan memanen, tanpa mempedulikan bagaimana petani memasarkan. Padahal, berapun
besarnya produksi pertanian per satuan luas, apabila tidak dapat dijual dengan
harga pasar yang layak, adalah sebuah bencana. Dengan demikian, pembangunan pertanian yang berpihak kepada petani, tidak cukup hanya memperhatikan proses produksi, namun juga harus mencakup pengolahan dan pemasaran hasil. Sayangnya, sampai saat ini tidak ada satupun lembaga pemerintah yang memberikan fasilitasi petani dibidang pengolahan dan pemasaran hasil. Memperhatikan karakter tata niaga pertanian sebagaimana tergambar, sudah saatnya pemerintah memperhatikan penguatan kelembagaan petani di tataran grass-root.

Peran Asosiasi Petani

Memperhatikan lesunya sektor pertanian, khususnya komoditas tanaman pangan, pengembangan pertanian di Nusa Tenggara Barat (khususnya Kabupaten Lombok Timur) perlu memberikan tekanan pada jenis tanaman industri seperti Tembakau Virginia, mete, Kakao, kopi, kemiri, dan lain-lainnya. Produk-produk ini apabila dikembangkan dengan serius diyakini mampu menjadi sumber mata pencaharian yang lestari. Untuk menjamin bahwa kegiatan produksi menguntungkan petani, dibutuhkan lembaga petani yang secara khusus berperan untuk membantu kegiatan pemasaran dan penciptaan nilai tambah produk pertanian, lembaga tersebut dapat berbentuk asosiasi petani sejenis, misalnya asosiasi petani jahe, asosiasi petani kacang mete dan sebagainya.
Gambaran terhadap peran asosiasi dijelaskan dalam uraian di bawah ini.

Memperkuat posisi tawar petani

Asosiasi dengan atas nama petani memiliki posisi yang sejajar dengan pelaku ekonomi lainnya. Kekuatan yang dimiliki asosisi petani akan merubah sudut pandang pengusaha, petani dianggap sebagai mitra usaha yang memiliki peran penting sebagai pemasok bahan baku ke perusahaan, sehingga pengusaha akan menjaga hubungan baik ini demi kontinyuitas pasokan bahan baku perusahaannya.
Sebagai negara agraris, selayaknya penduduk Indonesia didominasi oleh petani maju. Berbagai jenis lembaga pemerintah yang ditujukan untuk membantu petani, seperti balai perbenihan, balai penyuluhan pertanian, seharusnya ramai dikunjungi petani. Namun kenyataannya, sebagian besar petani negeri ini adalah petani miskin. Lembaga pemerintah yang memiliki tugas membantu petani, seperti balai perbeníhan, penyuluhan pertanian terkesan senyap, kantornya kusam, kebun percobaannya banyak terbengkalai dan jarang dikunjungi petani.

Meningkatkan Nilai Tambah

Petani cenderung menjual hasilnya dalam bentuk bahan mentah. Hal ini dilakukan karena kurangnya keterampilan, kurangnya modal usaha dan lemahnya jaringan pemasaran. Asosiasi berperan sebagai pelopor pengembangan usaha dibidang pertaniaan, dengan mengadakan diversifikasi usaha yang menghasilkan produk lanjutan, yaitu dari produk pertanian menjadi produk olahan (makanan,minuman atau perhiasan). Hal ini dilakukan melalui pembentukan industri rumahan (Home Industri). Pada saat panen petani tidak akan menjual keseluruhan hasilnya, tetapi menyisakan sebagaian untuk digunakan sebagai bahan baku industry rumahan.

Membuka Akses Terhadap Kredit Perbankan

Selama ini petani cenderung enggan berhubungan dengan bank, baik karena ketidak tahuan maupun ketidakmampuan memenuhi persyaratan administrasi. Asosiasi sebagai lembaga yang berbadan hukum diharapkan mampu membangun akses kredit bank. Dunia perbankan memegang prinsip kehati-hatian (prudencial banking), sehingga dalam mengucurkan suatu kredit selalu diperhatiakan 5 C (Colateral, Capital, Capasity, Capability dan Character) yang sepertinya syarat tersebut seakan-akan dibuat bukan untuk dijangkau oleh petani kecil (smallholder farmers), namun melalui suatu asosiasi maka syarat tersebut memungkinkan untuk dipenuhi. Sebagai “pintu masuk” bagi skema bantuan pemerintah Proyek pemberdayaan masyarakat oleh pemerintah sering tidak sesuai dengan tujuan awal, misalnya pemberian modal usaha secara individual, karena didistribusikan kepada
banyak orang maka masing-masing orang menerima dalam jumlah kecil sehingga
tidak cukup untuk dijadikan modal kerja atau modal usaha, sebaliknya justru digunakan untuk keperluan konsumtif, sehingga penerima bantuan tidak mampu mengembalikan perguliran dana. Bila dana bantuan tunai diserahkan kepada asosiasi, dana yang diterima tentunya akan lebih besar (akumulasi dari bantuan dana secara individual) sehingga kelompok penerima bantuan ini akan lebih leluasa menginvestasikan ke dalam bisnis tertentu sebagai usaha bersama. Asosiasi diharapkan mampu berperan sebagai (sub) kontraktor proyek pemerintah di pedesaan, misalnya proyek bantuan rakit apung untuk nelayan kerang mutiara di teluk Ekas (Kabupaten Lombok Timur), pembuatan rakit apung dapat dikontrakan kepada asosiasi nelayan yang notabene sebelumnya dikontrakan ke pengusaha. Dengan demikian dana bantuan pemerintah dapat diserap secara keseluruhan oleh masyarakat dan yang paling penting adalah menimbulkan rasa percaya diri bahwa sebenarnya masyarakat mampu berbuat, menghilangkan mitos masyarakat kecil tidak berdaya.

Katalisator pemicu perbaikan tata niaga produk pertanian Dalam perdagangan produk pertanian tidak pernah memperhatikan kepentingan petani sebagai produsen, hal ini terjadi karena panjangnya rantai distribusi pemasaran produk pertanian. Pemasaran dikuasasi oleh agen distributor, pengusaha dan pedagang.
Asosiasi dapat berperan sebagai katalisator untuk mencuatkan epentingan petani dalam perdagangan produk pertanian, bahkan tidak menutup kemungkinan asosiasi berperan sebagai kepanjangan tangan dari kelompok petani untuk memasarkan produk pertanian langsung kepada konsumen akhir (end user) yang dapat berupa industri (pabrik) dalam partai besar atau pemasaran retail kepada masyarakat.

Penutup

Memperhatikan pentingnya peran asosiasi petani, saatnya pemerintah bersama LSM dapat mengambil peran untuk melakukan fasilitasi pembentukan asosiasi di desa-desa sekitar hutan. Kehadiran lembaga pertanian yang kuat, semacam asosiasi ini, diharapkan mampu membuat masyarakat sekitar hutan yang selama ini menggantungkan hidupnya dari kegiatan ekstraktif, berubah menjadi produktif, sedemikian rupa sehingga selain ekonomi petani dapat dibangkitkan, pada gilirannya kelestarian hutanpun dapat dipertahankan, masyarakat berdaya, hutan terjaga!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar